Andai Aku Jadi Wartawan
Wajib Punya Rumus 6 W + 1 H
Wartawan. Begitu profesi ini disebut. Sesuai dengan namanya, wartawan adalah seseorang yang mencari dan menyampaikan sebuah warta atau berita, baik dalam bentuk teks, foto maupun video. Sekilas saya menilai pekerjaan wartawan itu mudah, apa sulitnya membidikkan kamera dan menulis sebuah berita. Namun setelah tahu seluk beluk menjadi seorang wartawan atau jurnalis, saya baru “ngerti” bahwa tugas seorang wartawan itu kompleks dan membawa misi perusahaan.
Andai saya seorang wartawan, maka banyak hal yang harus saya input ke dalam otak dan mindset saya. Apa saja? Saya menyebutnya transfer intelegensi. Sikap dan sifat yang sudah saya “antri” untuk memenuhi kecerdasan otak. Ibarat sebuah komputer, saya ogah mengandalkan harddisk internal, tapi juga harus memiliki harddisk eksternal untuk dapat menunjang dalam menyajikan penulisan sebuah berita.
Kata jurnalis senior, nulis berita itu harus 5 W + 1 H. Artinya memenuhi Who (siapa), What (apa), When (kapan), Where (dimana) Why (mengapa) + How (bagaimana). Sementara saya coba mengutak atik rumus ini. Apakah tidak terkesan hanya biasa saja. Tiap kepala, pasti punya pandangan yang berbeda. Begitu pun saya. Apakah salah jika saya ubah menjadi 6 W + 1 H? Lalu apa W yang keenam?
Begini, tiap kali membaca berita koran, saya selalu berfikir apakah berita tersebut sudah berimbang, apakah berita tersebut tidak menabrak norma etika, tidak menyudutkan salah satu pihak dengan sepihak. Konflik yang diciptakan oleh penulis biasanya secara tersirat menyudutkan salah satu pihak dengan tidak menyertakan bukti. Kasarannya, nuduh. Sehingga hal itu secara gamblang tak hanya membuat citra perusahaan tercoreng, tapi juga menghanguskan market atau pasar media tersebut.
Lalu W tersebut singkatan dari apa? Jika disemak, alasan saya diatas jelas. W itu mewakili Wise atau bijaksana. Haram hukumnya seorang wartawan menyajikan berita bertele-tele dan “mbuleti” dan membentuk opini masyarakat yang salah. Memang, seorang wartawan itu harus dekat dengan pembaca, maksudnya bukan secara riil, tetapi dekat karena tulisan yang ditulis mampu mengikat emosional pembaca.
Singkat cerita, wartawan bak seorang sutradara film. Bagaimana ending film, sutradara lah yang menentukan. Jika sutradara ingin aktor menangis, maka menangislah aktor tersebut. Jika sutradara ingin membuat penonton membenci aktor tersebut, maka sutradara tinggal memilihkan peran antagonis.
Disinilah sebetulnya peran seorang wartawan. Mengapa diatas saya menyebut bahwa profesi ini sungguh kompleks. Itu karena profesi wartawan itu memegang kekuatan yang luar biasa yang disebut “opini publik”. Ketika publik digiring ke utara, maka akan ikut ke utara. Konon kekuatan opini publik bahkan mengalahkan kekuatan institusi keamanan dimana publik menjelma sebagai sebuah massa yang dapat bergerak tak tentu arah hanya dengan komando coretan pena yang tak seberapa mahal.
Menarik memang, itulah sebabnya mengapa saya berandai-andai menjadi wartawan. Waktu kecil, profesi dokter dan polisi sungguh populer di mata saya. Tak tahu juga mengapa. Yang saya tahu waktu itu, teman sebangku waktu SD “ngebet” ingin jadi polisi. Entah karena ayahnya seorang polisi atau apa, tak jelas.
Tapi mengapa menjadi wartawan tak pernah disebut oleh siswa SD sebagai cita-cita. Lucu juga kalau dipikir-pikir. Mungkin wartawan itu tidak keren seperti polisi yang membawa senjata api. Tidak berwibawa seperti dokter yang memakai jubah putih kebesarannya. Atau mungkin profesi ini tidak memiliki divisi promosi hehehe. Ah, itu dalam pikiran saya. Namun sesungguhnya setiap dari kita terlahir menjadi wartawan. Maksudnya?
Ya, saat kita melihat suatu peristiwa dan kemudian menceritakan kepada orang lain. Itu sudah memenuhi rumus dasar seorang jurnalis. Saya iseng “nongkrong” di depan sebuah SD yang tak jauh dari rumah. Saat jam istirahat tiba, saya tertarik mengawasi seorang siswa. Tubuhnya gempal, kulitnya tak seputih seragam yang dipakai. Namun ia aktif bercerita kepada kawannya. “Tadi Bu Naning marah, si Idrus tidak mengerjakan PR” ujarnya kepada kawan disampingnya.
Itu menjadi sebuah bukti bahwa siswa SD sekalipun telah memiliki ability atau kemampuan untuk melaporkan peristiwa yang terjadi di sekitarnya. Setidaknya ia sudah memenuhi 3 W yakni Who, What dan Why. Nah itu yang membuat seseorang menganggap profesi wartawan dipandang sebagai profesi yang “siapa saja bisa”.
Justru menurut saya, tidak sembarang orang mampu menjadi pewarta. Disamping membutuhkan skill khusus seperti mengabadikan gambar bergerak dengan kamera, seorang wartawan juga mutlak memiliki milyaran perbendaharaan kata. Jadi tulisannya tidak “itu-itu” saja yang sukses membuat membaca jengah.
Jika saya diberi kesempatan sedikit saja untuk jadi seorang wartawan, maka saya punya rencana cukup besar. Apa itu? Meningkatkan indera kepekaan terhadap issue hangat dan panas yang ramai digunjing publik. Lebih kritis dan serba ingin tahu. Melihat dari 3 sudut pandang, karena 2 sisi belum cukup. Menulis dengan indera kepekaan emosi, yang mengikat alur emosi pembaca dari biasa, klimaks sampai antiklimaks yang meneduhkan.
Semua itu bagai mimpi jika saya tak mencoba mewujudkannya. Karena menjadi seorang pewarta merupakan satu langkah besar dalam pencapaian dan peningkatan SDM. Bekerja dan menimba ilmu itulah wartawan, berita yang ditulis otomatis menjadi sumber informasi tak hanya bagi publik namun bagi dirinya sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar